Penyakit jantung koroner (PJK)

Penyakit jantung koroner (PJK) telah menjadi penyebab utama kematian dewasa ini. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 7 juta orang meninggal akibat PJK di seluruh dunia pada tahun 2002. Angka ini diperkirakan meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020.

Di Indonesia, kasus PJK semakin sering ditemukan karena pesatnya perubahan gaya hidup. Meski belum ada data epidemiologis pasti, angka kesakitan/kematiannya terlihat cenderung meningkat. Hasil Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 menunjukkan tiga dari 1.000 penduduk Indonesia menderita PJK.
jantung-koroner-parah
PJK terjadi karena penyempitan/ penyumbatan pembuluh darah koroner yang berfungsi mendistribusikan darah dan oksigen ke otot jantung. Penyumbatan (plak aterosklerosis) disebabkan tertumpuknya endapan lemak (terutama kolesterol LDL), sel-sel otot polos pembuluh darah dan matriks ekstraseluler lainnya di sepanjang dinding arteri sebagai hasil proses yang berlangsung bertahun-tahun. Jika aliran darah berkurang secara bermakna, maka penderita perlu segera mendapat tindakan medis.
Keluhan penderita PJK bervariasi. Umumnya angina pectoris, rasa sakit di dada seperti tertekan benda berat yang kadang menjalar ke lengan, rahang, dan punggung. Ada pula penderita yang mengeluh leher seperti tercekik atau merasa sakit di ulu hati. Keluhan biasanya terjadi saat penderita melakukan aktivitas fisik atau stres yang membuat jantung berdenyut lebih kencang dan menuntut lebih banyak oksigen.
Sebagian penderita bahkan datang ke dokter dalam keadaan serangan jantung (infark miokard akut) dengan rasa sakit yang lebih hebat dan lama, sehingga badan basah kuyup dengan keringat dingin. Jika tidak ditangani secara baik, bisa berujung pada kematian.
Faktor risiko PJK dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu faktor risiko yang dapat dikurangi, diperbaiki atau dimodifikasi, dan faktor risiko yang bersifat alami atau tidak dapat dicegah. Faktor risiko yang tak dapat diubah adalah usia (lebih dari 40 tahun), jenis kelamin (pria lebih berisiko) serta riwayat keluarga. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi, antara lain kebiasaan merokok, dislipidemia, kurang gerak, kegemukan, diabetes melitus, stres, infeksi, serta gangguan pada darah (fibrinogen, faktor trombosis, dan sebagainya). Oleh sebab itu, beberapa usaha sebenarnya dapat dilakukan untuk mengurangi faktor risiko tersebut, seperti diet yang sehat, lebih banyak mengkonsumsi serat yang larut, olahraga rutin dan teratur, serta berhenti merokok.
Alternatif Terapi
Pilihan terapi PJK berkembang sesuai kemajuan teknologi. Umumnya dibagi menjadi terapi dengan obat- obatan, angioplasti koroner (PTCA), dan bedah pintas koroner (CABG). Obat PJK berupa obat antiangina (nitrat, beta blocker, calcium chanel blockers), berguna untuk mengurangi konsumsi oksigen otot jantung dan menambah aliran darah koroner dengan cara melebarkan pembuluh darah.
jantungkoroner_clip_image002
Obat diuretik berkhasiat meningkatkan pengeluaran garam dan air lewat urine sehingga mengurangi jumlah cairan dalam sirkulasi sekaligus menurunkan tekanan darah. Obat digitalis berfungsi menambah kekuatan kontraksi otot jantung, sehingga memperbaiki fungsi kerja jantung. Obat ini sering dipakai juga sebagai antiaritmia (anti gangguan irama jantung).
Obat antihipertensi, bekerja melebarkan pembuluh darah/ merelaksasikan otot halus arteri. Yang paling populer adalah obat-obatan antiplatelet (aspirin), berfungsi mengencerkan darah.
Penelitian terakhir menunjukkan pemberian statin (obat penurun kolesterol) lewat oral sesudah serangan jantung mampu menurunkan angka kematian hingga 34 persen per tahun. Efek antiperadangan obat ini memiliki kemampuan memperkuat lapisan pelindung plak, menstabilisasikan plak, dan bahkan dapat mengurangi penyempitan. Sayangnya hingga saat ini belum ada satu pun obat yang dapat menghancurkan sumbatan/plak yang menjadi dasar penyebab PJK.
Risiko Tinggi
Pada penderita berisiko tinggi, obat-obatan kerap kurang memadai, sehingga hanya ada dua cara untuk mengatasi sumbatan ini, yakni angioplasti koroner dan bedah pintas koroner. Tindakan hanya dilakukan bila sumbatan melebihi 50 persen diameter lumen pembuluh darah koroner lewat pemeriksaan angiografi. Angioplasti koroner merupakan metode tindakan intervensi untuk memperbaiki pembuluh darah secara dini dengan penggunaan balon untuk membuka pembuluh darah yang tersumbat. Tindakan ini dapat menurunkan tingkat kematian hingga 36 persen. Terapi ini dikenalkan pertama kali oleh Dr Andreas Gruentzig di tahun 1977.
Saat itu, masih dilakukan dengan alat yang sangat sederhana. Perkembangan teknologi khususnya di bidang kateter, balon, dan alat-alat medis baru seperti stent, obat-obatan, sinar x, dan kemampuan operatornya, semakin mempopulerkan terapi ini. Tindakan dilakukan di laboratorium kateterisasi yang menyerupai ruang operasi. Penderita dibaringkan di meja dan dihubungkan dengan alat monitor irama jantung secara terus-menerus. Setelah pembiusan lokal, sebuah kateter lalu dimasukkan ke arteri lewat lipatan paha atau pergelangan tangan. Melalui kateter itu dimasukkan kateter lain yang mempunyai balon di ujungnya dan diarahkan ke jantung dengan bantuan monitor. Saat mencapai pembuluh darah yang tersumbat, balon dikembangkan untuk menyingkirkan plak, sehingga jantung kembali memperoleh pasokan darah secara normal.
PTCA dianggap berisiko lebih kecil dan hanya memerlukan perawatan singkat (1-2 hari) di rumah sakit. Di dunia saat ini dilakukan lebih dari 1 juta kasus per tahunnya. Kelemahannya berupa risiko terjadinya penyempitan kembali (restenosis) hingga sebesar 50 persen dari diameter lumen di tempat yang sama dalam kurun waktu 3-6 bulan.
plakdalamarteri
Para ahli terus meneliti cara mengatasi masalah ini. Aneka obat seperti golongan kortikosteroid, sitostatik, penurun lemak, vitamin E dosis tinggi, dan lainnya telah dicoba. Tetapi gagal karena restenosis bersifat lokal. Obatnya pun harus diberikan lokal lewat kateter dengan dua metode, yaitu radiasi sinar gama atau beta intrakoroner. Hambatannya adalah fasilitas yang terbatas dan efek samping yang mungkin timbul.
Metode lain adalah dengan melapisi stent (semacam kerangka metal yang berfungsi sebagai penyangga supaya pembuluh darah tetap terbuka) dengan obat pencegah tumbuhnya jaringan baru, seperti Sirolimus dan Paclitaxel. Obat dilepas saat stent dicopot dan perlahan obat itu bereaksi dengan plak, sehingga pertumbuhan sel terhambat, bahkan terhenti.
Metode ini bisa menurunkan angka restenosis hingga 5 persen dan pada penderita diabetes melitus bahkan mencapai 10 persen, serta terbukti aman karena tak dijumpai efek samping sistemik. Meski begitu, penelitian terus dilanjutkan karena metode ini masih belum sempurna.
Angioplasti koroner yang dipaksakan pada lesi koroner berat dan melibatkan banyak pembuluh darah berisiko tinggi terjadinya penyempitan ulang dan bahkan penyumbatan. Lagi pula tindakan angioplasti berulang, terlebih bila memerlukan banyak stent, juga memerlukan biaya besar.
Bisa jadi biaya angioplasti akhirnya malah lebih besar daripada tindakan bedah dan akhirnya penderita juga harus dikirim ke meja operasi dengan disertai risiko yang lebih tinggi.
Pada keadaan demikian, pilihan bedah pintas koroner dari semula akan lebih menguntungkan. Operasi bedah juga lebih menguntungkan pada penderita dengan penyempitan yang terletak di posisi pembuluh koroner utama kiri, penderita diabetes melitus dan penderita dengan penurunan fungsi jantung.
Dokter spesialis bedah jantung melakukan pemasangan pembuluh darah pintas (bypass) pada pembuluh darah koroner yang menyempit/tersumbat dengan menggunakan pembiusan total. Materi bypass dapat diambil dari pembuluh darah balik kaki, pembuluh darah di bawah dada atau di lengan. Teknik ini pertama kalinya diperkenalkan Dr Rene Favoloro di Cleveland Clinic, AS pada tahun 1969. Saat ini lebih dari 300 000 operasi ini telah dilakukan di AS setiap tahunnya. Sayangnya pembuluh darah baru yang ditanam (graft) tidak selalu terjamin bebas masalah. Bisa jadi dalam perjalanan waktu, graft menyempit/menyumbat, sehingga memerlukan angioplasti atau operasi ulangan.
Risiko telah semakin kecil dengan meningkatnya pengalaman, penemuan obat-obatan dan perkembangan teknologi. Angka kematian berkisar antara 1-2 persen. Bahkan, di pusat jantung yang besar/terkenal, bisa mencapai di bawah 1 persen.
chol-arter
Kini juga dikenal off pump bypass surgery, yaitu tindakan bedah jantung tanpa menggunakan bantuan mesin jantung paru. Penanaman graft dilakukan pada jantung yang masih berdenyut (beating heart). Teknik ini dapat mengurangi biaya operasi, mempersingkat masa rawat inap dan mengurangi trauma, maupun komplikasi akibat bedah. Namun manfaatnya masih memerlukan evaluasi jangka panjang.
Pemilihan terapi PJK bergantung pada beberapa hal, seperti lokasi dan karakter penyempitan, jumlah pembuluh darah yang terlibat, fungsi jantung, adanya penyakit penyerta, usia, dan juga biaya. Masing-masing tindakan terbukti meningkatkan harapan dan kualitas hidup penderita PJK. Kekhawatiran risiko masing masing tindakan intervensi dapat dipahami, tetapi risiko itu telah jauh lebih kecil dibandingkan masa- masa sebelumnya.
Pengambilan keputusan jenis tindakan oleh dokter yang merawat penderita secara objektif dan bijaksana sangatlah diperlukan untuk memberikan manfaat terapi yang sebesar mungkin bagi penderita PJK. Tentu saja berbagai tindakan ini perlu juga disertai perbaikan gaya hidup, yakni menerapkan pola makan yang sehat, diet rendah kolesterol, berolahraga secara teratur, dan menghindari stres.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "